Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng akan memimpin jalannya prosesi Dugderan 2025 dengan memerankan sosok Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum.
Setelah prosesi selesai, Wali Kota Semarang beserta rombongan akan menuju Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) untuk melaporkan kegiatan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah.
Sejarah dan Makna Tradisi Dugderan Dilansir dari laman Kelurahan Gayamsari, Kota Semarang, Dugderan adalah tradisi yang telah berlangsung sejak 1881 Masehi.
Tradisi tersebut hingga kini masih terus dilestarikan hingga kini, sehingga tradisi Dugderan telah lama menjadi bagian dari perayaan menyambut bulan Ramadan di Semarang.
Nama Dugderan berasal dari suara bedug yang ditandai dengan bunyi dug dug dan suara meriam yang mengikuti dengan bunyi der.
Tradisi ini awalnya bertujuan untuk menyamakan pendapat umat Islam tentang penentuan awal bulan puasa.
Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat saat itu memberanikan diri untuk menentukan dimulainya hari puasa Ramadan, yaitu setelah bedug Masjid Agung dan meriam bambu di halaman kabupaten dibunyikan masing-masing sebanyak tiga kali.
Sebelum membunyikan bedug dan meriam, akan diadakan upacara di halaman kabupaten terlebih dahulu.
Sejak saat itu, umat Islam di Semarang tidak lagi berbeda pendapat terkait awal puasa dan menjadikannya sebagai budaya lokal setempat.
Perayaan ini ditutup dengan letusan mercon dan kembang api, yang melambangkan kebahagiaan menyambut Idulfitri.
Tradisi Dugderan memiliki maskot yang ikut diarak ketika festival berlangsung, yaitu Warak Ngendog.
Hewab Warak Ngendog adalah mitologi dengan bentuk unik, yaitu bertubuh kambing, berkepala naga dan bersisik yang terbuat dari kertas warna-warni.
Binatang ini juga dilengkapi dengan telur rebus yang disebut sebagai endog.
Makna dari maskot Warak Ngendok ini adalah warak yang sedang bertelur. B