Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menegaskan, tidak ada kewajiban sertifikasi kebersihan, kesehatan, keselamatan lingkungan (Cleanliness, Health, Safety, Environment/CHSE) bagi penyelenggara pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Konsep CHSE ini sifatnya voluntary, sesuai dengan inisiatif dari masing-masing penyelenggara pariwisata dan ekonomi kreatif,” jelasnya, Senin (4/10/2021).
Menurut Sandiaga, terdapat kesalahpahaman di kalangan pelaku usaha mengenai sertifikat CHSE. Bahkan, lanjutnya, pelaku industri berpikir bahwa CHSE adalah sebuah kewajiban. “Istilahnya kurang ngobrol dan kurang ngopi,” katanya.
Pemerintah, Sandiaga menambahkan, justru berharap standarisasi CHSE sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menparekraf menuturkan bahwa CHSE akan ditanggung pemerintah dan dia berharap pelaku usaha nantinya mampu mengadopsi CHSE dengan biaya yang lebih terjangkau tanpa menurunkan tingkat standarisasi.
“Tentunya CHSE dengan SNI ini kami harapkan sebagai platform yang menjamin validitas dan keandalan,” ujar Sandiaga.
Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantoro menyatakan penolakan atas kewajiban sertifikasi CHSE bagi industri pariwisata, khususnya hotel dan restoran. Sebab, lanjutnya, kewajiban itu kontraproduktif dengan upaya pengusaha bangkit dari keterpurukan.
Sutrisno memperkirakan untuk membuat sertifikat hotel berbintang biaya yang dibutuhkan berkisar antara Rp10 juta-Rp15 juta.
“PHRI DKI menyatakan menolak jika CHSE diwajibkan, kami menginginkan hal itu dilakukan secara bertahap dan kita cari solusi terbaik supaya tidak menjadi beban dari industri yang sekarang sedang melangkah untuk bangkit,” tuturnya dalam konferensi pers, Senin (27/9/2021).
Sutrisno menyatakan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat ada sekitar 29.243 hotel bintang dan non bintang, maka apabila biaya sertifikasi ditetapkan Rp10 juta akan terkumpul Rp292 miliar lebih per tahunnya. B