Meliput Pandemi: Saksi Sejarah, Asyik, Takut, Terinfeksi

Bagikan

Meliput pandemi Covid-19, bagi wartawan, mungkin mirip dengan meliput peperangan. Di satu sisi, itu mengasyikkan karena dia berada di tengah tempat kejadian.

Dia menjadi “saksi sejarah”. Di sisi lain, mereka juga khawatir, cemas bakal jadi korban: tertular Covid-19 atau luka tertembak.

Bagaimana pun juga, itu bagian dari tanggungjawab dan resiko. “Di situ gue ngerasa, ya udah ikhlas aja,” kata RF (27), wartawan yang mendengar kabar dirinya terkonfirmasi positif Covid-19.

Dia tak menyangka kini menjadi bagian dari jutaan orang di Indonesia yang terkonfirmasi positif virus corona.

“Kaget sih, karena gue ngerasa sehat. Eh taunya positif,” ujar RF saat dihubungi Kompas.com, 4 Agustus 2020. Sebelumnya, RF mengaku takut didiagnosis sebagai Orang Tanpa Gejala (ODP).

Nah walaupun gue takut jadi OTG, gue nggak pernah kepikiran bakal kena karena gue ngerasa selalu pake masker, olah raga, cuci tangan, minum jamu dan lain-lain lah,” kata RF.

Kegelisahan RF muncul saat ada tujuh orang yang bertugas di Mabes Polri dinyatakan positif Covid-19. RF pernah berkontak dengan mereka dalam suatu acara. “Di situ gue mulai was-was sih,” tambahnya.

Dia aktif ke turun meliput berita lapangan saat ramai isu buronan korupsi Djoko Chandra. RF menduga tertular Covid-19 saat meliput konferensi pers di Mabes Polri. “Meski pakai masker, lupa jaga jarak. Kalau lagi deadline berita, buyar jaga jarak,” jelas RF.

Bagi L, reporter perempuan salah satu media online, hati kecilnya tetap saja khawatir jika harus terus ke lapangan.

Dia khawatir jika nantinya akan jadi pasien Covid-19 selanjutnya. “Khawatir sih khawatir, apalagi untuk kesehatan dan mungkin faktor psikologis juga. Campur aduk deh antara kesehatan dan tanggung jawab,” tuturnya.

Berbeda dengan L, RW justru merasa khawatir tetap bekerja dalam kondisi seperti ini.

Walaupun perusahaannya membekali diri dengan masker, hand sanitizer, dan vitamin C, RW merasa hal itu kurang. Dia menilai wartawan juga perlu memakai Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap layaknya tenaga medis.

“Sebenarnya APD juga harus ada. Kalau wabah marak kan harusnya pakai APD lengkap. Memang ada masker dan hand sanitizer tapi bagiku masih kurang,” katanya.

RW menilai virus tersebut bisa saja menempel ke baju dan celananya ketika bekerja di luar. Oleh karena itu, APD dirasa perlu. Dengan APD, tambahnya, awak media bisa dengan aman melakukan peliputan.

Sejumlah wartawan di Jakarta terkonfirmasi positif Covid-19 berdasarkan tes usap (swab test). Mereka melakukan tes usap di RS Polri.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan mengatakan bahwa kasus positif Covid-19 di kalangan wartawan sudah diduga akan terjadi.

Temuan itu, katanya, menguatkan kerisauan wartawan terhadap risiko penularan virus Covid-19 lebih besar terjadi dibandingkan di masa awal pandemi. “Kasus teman-teman wartawan di Mabes Polri ini terakhir menunjukkan ancaman terinfeksi Covid-19 sangat besar,” jelasnya.

Selain terpapar virus, kekhawatiran bagi wartawan adalah pemutusan hubungan kerja.

Profesi wartawan termasuk bagian dari pekerjaan yang rawan PHK. Sebab, bisa jadi perusahaan tidak bisa menghindar dari kondisi lemahnya ekonomi dan bisnis akibat pandemi.

1.208 Jurnalis Tewas

Data dari organisasi Press Emblem Campaign (PEC) menyatakan virus Corona telah merenggut nyawa lebih dari 1.208 jurnalis di seluruh dunia.

“Wartawan terlibat dalam profesi yang secara khusus berhadapan risiko terpapar virus, karena banyak yang dipaksa untuk terus bekerja dalam kontak dengan penduduk,” begitu pernyataan resmi dari PEC.

Di Brasil, sebagai contoh, lebih dari 183 jurnalis meninggal akibat Covid-19. Jurnalis di negara ini jadi yang paling terpukul, diikuti oleh Peru (140), India (121), dan Meksiko (106). (Nur Hidayat, Wartawan Senior di Jakarta)

Komentar

Bagikan