Kemacetan di Jakarta adalah tantangan multidimensi yang menghambat produktivitas ekonomi, menurunkan kualitas lingkungan dan merusak kesejahteraan sosial.
Akar permasalahan terletak pada ketidakterpaduan sistem transportasi, kelembagaan yang terfragmentasi dan perencanaan, serta tata kelola yang belum optimal.
BPS DKI Jakarta menyebutkan, jumlah penduduk di DKI Jakarta tahun 2023 sebanyak 10.672.100 jiwa dan 10.640.007 jiwa pada tahun 2022.
Pada tahun 2022, jumlah warga Jakarta berusia di atas 15 tahun 8.3.64.461, jiwa sehingga jumlah kendaraan pribadi di Jakarta dua kali lipat dari jumlah penduduknya (Kompas, 3/7/2024).
Merujuk data The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP) dan Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI), menunjukkan tahun 2010 total perjalanan 45 juta per hari.
Selang delapan tahun kemudian di tahun 2018, total perjalanan menjadi 88 juta per hari. Jumlah perjalanan yang meningkat hampir dua kalim lipat dalam kurun delapan tahun.
Penggunaan transportasi umum di Jakarta kian menurun. Tahun 2002 masih 52,7%, tahun 2010 (22,7%) dan tahun 2018 (6,9%). Menggunakan mobil tahun 2002 sebesar 14,7%, tahun 2010 (14,7%) dan tahun 2018 (21,5%).
Sementara itu, pemakaian sepeda motor melesat hampir 2,5 kali lipat, tahun 27,5%, tahun 2010 (61,2%) dan tahun 2018 (68,3%). Hal ini menyebabkan tingginya polusi udara dari sepeda motor yang menyumbang 44,5% dan mobil pribadi menyumbang 14,2%.
Peraturan Daerah Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, pasal 8 mengamanatkan untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif, efisien, lancar dan terintegrasi dalam Rencana Induk Transportasi ditetapkan target 60% perjalanan penduduk menggunakan angkutan umum dan kecepatan rata – rata jaringan jalan minimum 35 km/jam untuk transportasi jalan.
Sebagai dokumen strategis, Rencana Induk Transportasi Jakarta (RIJ) harus diperkuat untuk memastikan integrasi antarmoda, konektivitas antarwilayah, dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional (RIJLLAJ Nasional).
Untuk memastikan implementasi yang efektif, dibutuhkan tidak hanya reformasi kebijakan, tetapi juga dukungan kelembagaan yang kuat melalui pembentukan Institut Transportasi Jakarta (ITJ) sebagai pusat riset dan pengembangan transportasi.
Isu Strategis
Pertama, tidak adanya acuan Pngembangan Transportasi Terpadu (Belum Diterbitkannya RIJ Jakarta). Permasalahannya adalah ketiadaan dokumen acuan yang sah menyebabkan pengembangan moda transportasi dilakukan secara sektoral tanpa integrasi antarmoda yang efektif, sehingga sangat tidak efisien dan rentan terhadap penyalah gunaan kewenangan.
Dampaknya ketidakselarasan perencanaan, redundansi layanan dan inefisiensi operasional dan pembirisan subsidi.
Kedua, keterbatasan konektivitas antar moda transportasi. Integrasi fisik, tarif dan jadwal antarlayanan berbagai jenis moda transportasi masih bersifat ketidak sengajaan bukan, karena disusun secara terencana, membuat perjalanan masyarakat tidak seamless dan optimal (Suzuki et al., 2015).
Sistem transportasi umum yang dibiayai dengan subsidi Rp6 triliun hingga Rp7 triliun setahun tidak menciptakan efisiensi jaringan.
Dampaknya, ketergantungan pada kendaraan pribadi akan terus tinggi dan peningkatan kemacetan lalu lintas.
Ketiga, kelembagaan dan tata kelola transportasi yang fragmentaris. Tumpang tindih kewenangan antar lembaga tanpa otoritas tunggal menghambat efektivitas koordinasi dan pelaksanaan kebijakan transportasi.
Dampaknya, lambatnya pengambilan keputusan strategis dan lemahnya integrasi kebijakan lintas sektor.
Keempat, inefisiensi tata kelola dan formula pembiayaan transportasi. Ketergantungan pada subsidi berbasis input tanpa insentif peningkatan kinerja layanan serta minimnya diversifikasi sumber pendanaan.
Dampaknya kualitas layanan transportasi yang stagnan dan ketidakpastian dalam keberlanjutan pendanaan. Sistem yang dibangun hanya menyebabkan peningkatan subsidi yang terus menerus sebanyak apapun jumlah pengguna yang dilayani.
Kelima, ketidakefisienan operasi angkot/mikrolet. Sistem berbasis setoran mendorong persaingan tarif yang tidak sehat, rute yang tumpang tindih, dan perilaku mengemudi yang tidak aman.
Reformasi kelembagaan dan tata kelola mikrolet adalah PR terakhir yang disisakan pemerintah lama. Dampaknya kontribusi signifikan terhadap kemacetan dan menurunkan kualitas layanan dan image transportasi publik secara keseluruhan.
Keenam, efektivitas kebijakan pengendalian permintaan transportasi (push measures). Kebijakan seperti ganjil genap hanya memberikan dampak jangka pendek tanpa dukungan transportasi umum yang kuat dan kebijakan pengendalian permintaan berbasis insentif, seperti congestion pricing.
Usulan Electronic Road Pricing (ERP) ditolak DPR Daerah Khusus Jakarta. Dampaknya tidak ada perubahan signifikan dalam perilaku mobilitas masyarakat dan tidak berkelanjutan dalam mengurangi kemacetan.
Bantuan Pemerintah Pusat
Upaya untuk mengurangi pemakaian sepeda motor sudah pernah dilakukan ketika Jakarta dipimpin Gubernur Basuki Tjahja Purnama.
Kala itu diberlakukan pembatasan operasi sepeda motor di Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. MH Thamrin. Bagi yang terbiasa menggunakan sepeda motor di jalur ini disediakan bus gratis rute Bundaran Senayan – Harmoni. Hasilnya cukup bagus dan kala itu akan diiikui oleh daerah selain Jakarta.
Dampak positif pembatasan sepeda motor Jalan MH Thamrin – Jalan Jend. Sudirman, menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2017) adalah (a) terjadi pengurangan volume kendaraan 22,4 persen, (b) presentase kecepatan kendaraan meningkat, semula 26,3 km/jam menjadi 30,8 km/jam, (c) waktu tempuh meningkat 25 persen.
Sementara itu, menurut Polda Metro Jaya (2017), berkurangnya simpual kemacetan, pelanggaran lalu lintas menurun dan jumlah kecelakaan menurun 30%.
Sayangnya, di era Gubernur Anis Baswedan kebijakan ini dihapus dengan alasan mentaati Keputusan Mahkamah Agung. Namun, dibalik itu lebih pada alasan politis ketimbang upaya membenahi pemakaian angkutan umum.
Total jumlah kendaraan bermotor menurut jenis kendaraan menurut BPS terkahir diperbarui 17 Oktober 2023 sebanyak 21.856.081 unit.
Mobil penumpang 3.766.059 unit (17,2%), bus 37.180 (0,02%), truk 748.395 unit (34,2%) dan sepeda motor 17.304.447 unit (79,2%).
Subsidi BBM di Indonesia tidak tepat sasaran. Data dari Kementerian ESDM (2012), sebanyak 93% subsidi BBM dinikmati warga mampu (kendaraan roda empat dan roda dua). Selebihnya untuk angkutan barang 4% dan angkutan umum hanya 3%.
Sementara itu, angkutan umum di Jakarta sudah memberikan pelayanan yang cakupannya 89,5% wilayah Jakarta. Sudah setara dengan kota – kota negara maju di dunia.
Oleh sebab itu, sebagai percontohan nasional, kendaraan pribadi di Jakarta menggunakan BBM nonsubsidi, dilarang menggunakan BBM Subsidi. Agar akan semakin banyak warga Jakarta beralih menggunakan angkutan umum.
Ojek dapat BBM Subsidi dengan cara menggunakan plat kuning. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Jakarta dapat meniru ojek di Kota Agats Kabupaten Asmat Provinsi Papua Selatan yang sudah menggunakan plat kuning.
Pemprov Daerah Khusus Jakarta dapat pula membuat aplikasi untuk driver ojek di Jakarta.
Transportasi Pulau Seribu
Penanganan transportasi menuju Kepulauan Seribu terkesan ditinggalkan. Pemprov Daerah Khusus Jakarta lebih berfokus menangani wilayah daratan. Kepulauan Seribu, termasuk destinasi wisata.
Kepulauan Seribu merupakan daerah destinasi wisata. Tentunya fasilitas sarana kapal yang menuju Kepulauan Seribu harus berkeselamatan.
Dalam lima tahun ke depan, ditarget semua kapal-kapal yang berlayar dari Jakarta ke wilayah Kepulauan Seribu sudah diganti dengan sarana kapal yang berkeselamatan, selain aman dan nyaman. (Djoko Setijowarno , Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat)