Selat Malaka dan Selat Singapura menjadi salah satu jalur pelayaran yang sangat strategis.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus berkomitmen mengemban aspek keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim, termasuk di Selat Malaka dan Singapura.
Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Budi Mantoro mengatakan, Selat Malaka dan Selat Singapura dilalui oleh sekitar 35% kapal internasional yang mengangkut sepertiga dari komoditas perdagangan global.
“Jadi, membuat kedua Selat ini menjadi urat nadi yang menghubungkan perekonomian wilayah tersebut ke seluruh dunia,” katanya.
Budi menyebutkan, volume lalu lintas yang melewati kedua Selat tersebut terus meningkat setiap tahunnya, mencapai 130.000 kapal per tahun.
World Economic Forum memperkirakan Selat Malaka akan melewati kapasitasnya pada akhir dekade ini, karena pesatnya pertumbuhan lalu lintas pelayaran di Selat tersebut.
“Belum lagi banyaknya kemacetan dan kecelakaan yang terjadi di kedua Selat tersebut bisa mengakibatkan gangguan dan hambatan bagi rantai pasokan global,” jelasnya.
Menurut Budi, aktivitas di kedua Selat itu berdampak tidak hanya kepada tiga negara Pantai, tapi juga terhadap perdagangan regional hingga ke perekonomian global.
Oleh karena itulah, Cooperative Mechanism dibentuk untuk menjalin dialog, pertukaran informasi dan berbagi perspektif tentang isu – isu penting yang berkaitan dengan Selat Malaka dan Selat Singapura.
Dia bilang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura menjadi perhatian utama dari komunitas maritim internasional, khususnya Negara Pantai. Oleh karenanya, dengan dukungan dari International Maritime Organization (IMO).
Pada tahun 2007, tiga Negara Pantai membentuk Cooperative Mechanism sebagai wadah untuk mendiskusikan dan bertukar pandangan terkait dengan isu yang menjadi perhatian bersama di kedua Selat.
Sebagai Anggota Dewan IMO, Indonesia memprioritaskan kerja sama dengan seluruh negara anggota IMO untuk memperkuat keselamatan dan keamanan pelayaran internasional.
Dia menyatakan, pihaknya juga selalu berpegangan pada Konvensi dan Instrumen IMO dalam menentukan kebijakan dan peraturan di perairan Indonesia, khususnya yang berada di wilayah Selat Malaka dan Selat Singapura.
Dalam rangka komunikasi dan meningkatkan keselamatan pelayaran, Indonesia telah membentuk mekanisme Maritime Safety Information (MSI) untuk memenuhi kebutuhan penyampaian informasi mengenai navigasi dan keselamatan pelayaran, yang berbasis pada mekanisme sistem penyiaran dan optimalisasi e-navigasi melalui sistem aplikasi terpadu yang dikelola oleh Maritime Coordination Centre (MCC).
“Mekanisme ini didukung juga oleh implementasi sistem pelaporan kapal atau Ship Reporting System (SRS) di Perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional dan internasional, untuk meningkatkan efisiensi navigasi, keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim,” tuturnya.
Selain itu, Budi menambahkan, Indonesia juga telah berhasil meningkatkan fungsi dan kapasitas sarana, prasarana, peralatan navigasi seperti GMDSS, AIS, VTS dan Aids to Navigation, serta sistem pengaturan rute kapal yang ditetapkan pada wilayah penting dan kritis di perairan Indonesia guna menjamin keselamatan navigasi, keamanan maritim dan perlindungan lingkungan laut seperi diatur dalam peraturan IMO.
Budi juga menyampaikan keberhasilan Indonesia dalam menetapkan Kepulauan Nusa Penida dan Gili Matra sebagai Particularly Sensitive Sea Area (PSSA), yang telah disetujui pada Sidang Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-82 pada awal Oktober 2024.
PSSA tersebut, jelasnya, terletak di dalam Traffic Separation Scheme (TSS) Selat Lombok, yang berfungsi sebagai Associated Protective Measures-nya.
Dengan ditetapkannya Pulau Nusa Penida dan Gili Matra sebagai PSSA, dia menambahkan, Indonesia menjadi negara ke-19 yang menetapkan PSSA dan negara Asia kedua setelah Filipina yang memiliki PSSA yang ditetapkan oleh IMO.
“Kita berharap juga hal ini dapat membuka peluang penetapan PSSA di wilayah – wilayah lain di Indonesia yang juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, kondisi ekologi dan sosial – ekonomi yang sama, serta rentan terhadap dampak kegiatan pelayaran internasional,” ujarnya. B