Industri Hotel Kehilangan Rp24,8 Triliun Dampak Pemotongan Anggaran Pemerintah

Salah satu fasilitas di Hotel Merumatta Senggigi. (dok. istimewa)
Bagikan

Pemotongan anggaran pemerintah berdampak signifikan terhadap industri perhotelan di Indonesia.

Menurut data terbaru, sektor ini mengalami kehilangan pendapatan hingga sekitar Rp24,807 triliun dan berakibat berkurangnya kegiatan yang sebelumnya dibiayai oleh pemerintah, seperti perjalanan dinas, seminar dan acara resmi lainnya.

Rincian kerugian tersebut, yakni dialami akomodasi sebesar Rp16,538 triliun dan meeting Rp8,269 triliun.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, pemangkasan anggaran untuk perjalanan dinas dan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) menjadi faktor utama turunnya tingkat okupansi hotel, terutama di kota – kota yang bergantung pada kegiatan pemerintahan.

“Pemerintah selama ini menjadi salah satu penyumbang utama tingkat hunian hotel di berbagai daerah. Dengan adanya pemotongan anggaran, otomatis banyak acara yang dibatalkan atau dikurangi skalanya, sehingga berdampak langsung pada pendapatan hotel,” katanya di acara Musyawarah Nasional (MUNAS) XVIII di Royal Garden Safari, Cisarua, Bogor, baru – baru ini.

Dampak ini paling dirasakan oleh hotel – hotel berbintang di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.

Selama ini, kota – kota tersebut menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis.

Selain penurunan okupansi, sektor perhotelan juga mengalami efek domino terhadap industri terkait, seperti katering, transportasi, dan jasa event organizer.

“Sektor pariwisata kerap dielu – elukan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, tetapi realitasnya masih jauh panggang dari api,” tutur Haryadi.

Sektor perhotelan, lanjutnya, tidak pernah secara politik menjadikan pariwisata sebagai sektor yang diprioritaskan dan selalu dianggap sebagai aksesori.

Namun, Haryadi meminta para pelaku usaha di sektor perhotelan untuk tidak berkecil hati, karena justru kondisi ini menjadi pemicu agar industri pariwisata Indonesia bisa bersaing dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam.

Negara Thailand, misalnya, masih berada di puncak daftar negara dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) terbanyak di ASEAN.

Malaysia dan Vietnam pun mencatat angka kunjungan yang lebih tinggi dari Indonesia, bahkan sejak tahun 2019, pertumbuhan sektor pariwisata Vietnam melesat, mengungguli Indonesia.

“Vietnam, yang sebelum 2019 masih relatif seimbang dengan kita, sekarang mendahului,” ungkap Hariyadi.

Untuk mengejar ketertinggalan tersbeut, lanjutnya, perlunya dukungan konkret dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, apalagi dampak ekonomi dari sektor pariwisata dirasakan langsung oleh masyarakat, lebih dari sektor – sektor lainnya. “Mungkin ini yang membedakan industri pariwisata dengan yang lain.”

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisman ke Indonesia pada Desember 2024 mencapai 1,24 juta, naik 13,95% dibandingkan dengan sebelumnya.

Secara kumulatif, sepanjang tahun 2024, jumlah wisatawan asing yang masuk ke Indonesia mencapai 13,90 juta kunjungan, meningkat 19,05% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Namun, tren ini masih fluktuatif. Setelah melonjak pada April 2024, angka kunjungan menurun pada September hingga November, lalu kembali meningkat di penghujung tahun.

“Tantangan ke depan jelas tak mudah. Tanpa keseriusan pemerintah, sektor pariwisata Indonesia masih akan tertinggal di belakang negara – negara tetangga,” jelas Haryadi. B

 

 

 

 

 

Komentar

Bagikan