Airbus memperkirakan bahwa Indonesia akan membutuhkan setidaknya 1.000 pesawat baru dalam 20 tahun ke depan, menjadikannya salah satu pasar dengan pertumbuhan tertinggi di dunia untuk sektor penerbangan.
Airbus President Asia Pacific Anand Stanley menjelaskan, perkiraan ini berdasarkan angka pertumbuhan lalu lintas penumpang yang kuat sekitar 7,4% per tahun, lebih dari dua kali lipat dari rata – rata pertumbuhan global yang hanya sebesar 3,6%.
“Di negara besar yang terdiri dari 17.000 pulau dan berpenduduk 280 juta jiwa, yang mana sebagian besar penduduknya belum pernah terbang dengan pesawat, transportasi udara akan menjadi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” jelasnya pada media briefing di Bali International Airshow (BIAS) 2024.
Seiring dengan meningkatnya minat untuk melakukan perjalanan udara, anand menambahkan, armada yang ada saat ini dan backlog pesanan yang telah dikonfirmasi jelas tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan.
Saat ini, di Indonesia, jumlah pesawat yang beroperasi dan masing – masingnya memiliki lebih dari 100 kursi (dari semua pabrikan) adalah 480 pesawat, sedangkan pesawat tambahan yang telah dipesan berjumlah 490 unit.
Setengah dari pesawat yang beroperasi ini adalah pesawat Airbus dan setengah dari backlog pesanan juga merupakan pesawat Airbus.
Anand membandingkan beberapa koneksi perjalanan di dalam negeri berdasarkan pilihan jadwal penerbangan yang ada saat ini melalui jalur darat dan laut.
Dia mencontohkan perjalanan antara titik paling Timur dan Barat Indonesia, dari Banda Aceh di Sumatra ke Merauke di Papua Barat.
Melalui udara, perjalanan tercepat saat ini memakan waktu 13 jam 35 menit dengan dua kali transit, sedangkan melalui darat dan laut perjalanan memakan waktu sekitar 11 hari.
Dia menuturkan, bahkan untuk beberapa rute pendek, seperti Jakarta ke Denpasar, menggunakan moda transportasi selain penerbangan akan bisa memakan waktu hampir 24 jam.
Anand menyatakan bahwa untuk membuka rute baru, A220 lorong tunggal generasi terbaru akan menjadi pilihan yang sempurna bagi maskapai penerbangan di Indonesia.
“A220 memiliki jangkauan terbang paling jauh jika dibandingkan dengan pesawat manapun di kategori ukurannya. Pesawat ini akan memungkinkan dibukanya penerbangan langsung tanpa henti antara dua titik di seluruh kepulauan Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, pesawat ini juga hanya membutuhkan landasan pacu yang pendek, sehingga memungkinkan maskapai untuk membuka jaringan penerbangan baru untuk melayani masyarakat di daerah yang lebih terpencil.
“A220, dengan seluruh kemampuannya itu, juga memiliki tingkat konsumsi bahan bakar dan emisi karbon yang secara signifikan lebih rendah, sehingga berkontribusi pada ambisi keberlanjutan Indonesia tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi,” ungkap Anand.
Untuk rute – rute dengan permintaan jumlah penumpang yang lebih tinggi, serta untuk mengembangkan layanan internasional, lanjutnya, minat negara ini terfokus pada A330neo, yang telah beroperasi dengan Garuda Indonesia dan Lion Group.
“Versi terbaru dari pesawat berbadan lebar yang populer dan telah terbukti kemampuannya dengan memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi. Kami melihat kemampuan itu terbukti di Indonesia dan maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengoperasikan pesawat ini dengan konfigurasi premium pada berbagai rute di seluruh kawasan Asia Pasifik,” tuturnya.
Sementara itu, Lion Group menerbangkan versi pesawat dengan konfigurasi kepadatan tinggi yakni dengan kapasitas 440 kursi, yang digunakan baik di dalam negeri maupun penerbangan untuk ibadah ke Timur Tengah.
“Keekonomisan pengoperasian A330neo, yang ditenagai oleh mesin generasi terbaru dari Rolls – Royce dan menggabungkan berbagai teknologi baru serta peningkatan aerodinamika, menjadikannya pilihan yang tepat bagi maskapai yang sedang melebarkan sayap dan terus berkembang,” kata Anand.
Selain menjadi pasar utama bagi Airbus, dia menambahkan bahwa Airbus ingin membangun kemitraan di Indonesia.
Dia mengatakan, salah satu prioritas perusahaan adalah untuk memajukan hubungan jangka panjang dengan PT Dirgantara Indonesia, yang kini telah berlangsung selama hampir 50 tahun dan mengembangkan kemitraan baru baik dengan sektor pemerintahan maupun swasta.
Menyusul penandatanganan nota kesepahaman dengan Pertamina pada hari pembukaan BIAS 2024, Anand mengatakan Indonesia juga menawarkan potensi besar akan dibukanya kemitraan baru di bidang keberlanjutan.
Menurut Anand, seiring dengan upaya untuk memenuhi permintaan perjalanan udara yang terus meningkat, salah satu tantangan besar yang harus dihadapi adalah memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi industri penerbangan.
“Kami melihat Indonesia sebagai salah satu negara di Asia dan Pasifik yang menawarkan potensi terbesar sebagai sumber bahan baku untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF),” ungkapnya.
Komoditas yang menjanjikan termasuk minyak goreng bekas pakai (jelantah), residu pertanian dan sampah kota, yang semuanya dapat diperoleh secara lokal dan menawarkan peluang pengembangan lokal.
“Airbus mempercayai potensi pertumbuhan yang kuat di sektor pesawat komersial Indonesia dan kami berkomitmen untuk hadir di sini dan membangun kemitraan baru di masa depan,” jelas Anand. B