Saya kaget membaca pernyataan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta (Daerah Khusus Jakarta) Syafrin Lupito melalui akun IG yang menjelaskan bahwa kelak ketika MRT tahab II sudah selesai (diperkirakan tahun 2027), maka layanan Transjakarta Koridor 1 (Blok M – Kota) akan ditiadakan.
Ini jelas langkah yang tidak tepat, untuk tidak menyebut konyol. Kadishub dipastikan tidak tahu kondisi lapangan, termasuk kondisi pelanggan MRT dan Transjakarta (TJ).
Kalau memahami kondisi atau karakter pelanggan MRT dan TJ tentu tidak akan mengeluarkan pernyataan tersebut.
Karakter pelanggan Transjakarta (TJ) itu berbeda dengan karakter pelanggan MRT, baik dari aspek sosial ekonomi, tarif, maupun pola perjalanannya, sehingga tidak bisa keberadaan MRT itu menggantikan layanan TJ, meskipun satu rute.
Kesatu, dari aspek sosial ekonomi, pelanggan MRT memiliki kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi, terlihat dari penampilan fisiknya yang lebih glowing, jenis pakaiannya yang rata – rata bermerk, farfum yang digunakan, maupun tentengan tasnya.
Sangat jarang (boleh dikatakan tidak pernah terlihat sama sekali) pelanggan MRT menenteng tas plastik (tas kresek) atau kardus, tetapi terlalu mudah menemukan pelanggan TJ membawa tentengan tas kresek atau kardus.
Jadi, dari aspek social ekonomi ini saja, sangat tidak realistis memindahkan pelanggan TJ ke MRT. Begitu mereka dipaksa pindah ke MRT karena layanan TJ Koridor 1 dihapuskan, maka mereka akan pindah ke sepeda motor, dan ini jelas suatu kekonyolan yang tidak terampuni.
Kedua, dari segi tarif, tarif MRT jelas jauh lebih mahal karena berdasarkan jarak tempuh. Saat ini saja, jarak Lebak Bulus – Bunderan HI tarifnya mencapai Rp14.000.
Naik TJ hanya Rp3.500, seandainya pada tahun 2027 nanti tarif TJ naik menjadi Rp5.000, akan tetap jauh lebih murah dibandingkan tarif MRT dari Lebak Bulus sampai Kota yang mungkin bisa mencapai Rp30.000.
Dengan tarif sebesar itu, jelas tidak mungkin terjangkau oleh pengguna TJ. Tarif itu terjangkau bagi pengguna mobil pribadi.
Jadi semestinya cara berfikir insan Dinas Perhubungan Daerah Khusus Jakarta (DKJ) itu bukan menghapus layanan TJ Koridor 1, tapi bagaimana memindahkan pengguna mobil pribadi ke angkutan umum khususnya MRT.
Kebijakan – kebijakan yang sudah lebih dari 15 tahun digodok dan dikaji, seperti tarif parkir tengah kota yang mahal, tidak boleh parkir di badan jalan dan harga BBM untuk kendaraan pribadi yang mahal, saatnya untuk diimplementasikan.
Kalau menghapus layanan Koridor 1 jelas bukan kebijakan yang cerdas dan bertentangan dengan pembangunan MRT itu sendiri, yang sejak diwacanakan untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi, bukan memindahkan pengguna angkutan umum lainnya.
Saya masih ingat betul, tahun 2010 saat muncul pemberitaan serupa, bahwa kelak bila Pembangunan MRT Lebak Bulus – HI selesai, maka TJ Koridor 1 akan dihapuskan.
Saya langsung protes ke Dirjen KA Kementerian Perhubungan Tundjung Inderawan dan langsung direspon bahwa tidak ada rencana penghapusan rute BRT Koridor 1, karena akan saling melengkapi.
Ironisnya sekarang pernyataan tersebut justru muncul dari Kadishub DKI Jakarta yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum menjadi 60% pada tahun 2030.
Menghapus layanan TJ Koridor 1 jelas akan menurunkan jumlah pengguna angkutan umum dan akan menaikkan pengguna kendaraan pribadi, utamanya motor.
Kontribusi Koridor 1 dalam memfasilitasi mobilitas warga Jabodetabek setiap harinya cukup tinggi, bisa mencapai 66.000 orang pada hari kerja. Kalau 50% mereka kembali naik motor, karena tidak mampu naik MRT, maka itu akan nambah ruwet Kota Jakarta.
Ketiga, pola perjalanan pengguna TJ berbeda dengan pola perjalanan pengguna MRT. Kalau Kadishub atau insan Dinas Perhubungan sesekali naik Koridor 1 dari Balok M sampai Kota akan tahu bahwa pelanggan Koridor 1 saat ini sudah mengalami pergeseran dibandingkan dengan 21 tahun silam saat Koridor 1 untuk pertama kalinya dioperasikan untuk rute Blok M – Kota.
Saat itu, Sebagian pelanggan dari Blok M akan banyak naik dari Halte Ratu Plaza (Bunderan Senayan) sampai dengan Monas, dan akan banyak turun mulai dari Halte Dukuh Atas hingga Harmoni.
Demikian pula pada saat jam sibuk sore hingga petang hari, pelanggan terbanyak mulai naik dari Halte Harmoni hingga Bunderan Senayan dan turun di Blok M.
Sekarang dengan adanya pengembangan koridor, termasuk Koridor 13 dan pengembangan rute TJ, Koridor 1 telah menghubungkan layanan dengan Koridor 2, 3, 4, 6, 8, 9, 12,13, serta layanan sejumlah rute non koridor.
Di antaranya 1A (Balai Kota-Pantai Maju), 1C (Blok M – Pesanggrahan), 1E (Blok M – Pondok Labu), 1N (Blok M – Tanah Abang), 1P (Blok M – Senen), 1Q (Blok M – Rempoa), 3H (Jelambar – Kota), 4K (Kejaksaan – Pulogadung), 5A (Ragunan – Balai Kota via Kuningan), dan 6B (Ragunan – Balai Kota via Semanggi).
Selain itu, M (Blok M – Stasiun Manggarai), 6U (Blok – Pasar Minggu via Mampang), 6V (Ragunan – GBK), 7B (Blok M – Kampung Rambutan), 8C (Kebayoran Lama – Tanah Abang), 8D (Blok M – Joglo), 8E (Blok M – Bintaro), T22 (Kejaksaan – Ciputat), Jak 31 (Blok M – Andara), dan Jak 102 (Blok M – Lebak Bulus).
Mereka yang dari Kawasan Sudirman – Thamrin hingga Medan Merdeka yang akan menggunakan layanan LRT Jabodebek juga dapat menggunakan layanan TJ Koridor 1.
Lalu, turun di Halte Dukuh Atas atau Bunderan HI Astra untuk selanjutnya naik Koridor 6, 6A, dan 6B, sedangkan yang akan menggunakan layanan KCI dapat turun di Halte Tosari atau Dukuh Atas lalu jalan kaki.
Melihat jaringan rute Koridor 1 yang begitu banyak dan luas, maka penghapusan layanan Koridor 1 adalah suatu kesalahan yang amat fatal.
Pernyataan Kadishub Syafrin Lupito yang menghapuskan layanan TJ Koridor 1 itu menjadi bukti bahwa Kadishub dan insan Dinas Perhubungan sendiri tidak pernah naik TJ, khususnya Koridor 1, sehingga staf – stafnya tidak dapat memberikan masukan yang sesuai realitas.
Pola perjalanan pengguna TJ Koridor 1 telah berubah, sedikit yang naik dan turun di Blok M. Pada pagi hari, pelanggan banyak naik dari Halte CSW, Bunderan Senayan, GBK, Benhil, Karet, Dukuh Atas, hingga Monas.
Pelanggan yang naik dari CSW ini merupakan perpindahan dari Koridor 13 maupun rute – rute non koridor yang akan menuju ke arah Kawasan Sudirman – Thamrin hingga Monas.
Pelanggan banyak yang turun mulai dari Halte Bunderan Senayan, hingga Monas, sedangkan pada sore hari, pelanggan akan banyak naik dari Harmoni, Monas, hingga GBK dan mayoritas turun di Halte Kejaksaan untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Koridor 13 dan sejumlah rute nonkoridor. Sedikit yang turun di Blok M.
Dengan pola perjalanan mereka yang pendek tersebut, rasanya sulit mereka dipaksa pindah ke MRT yang ongkosnya jauh lebih mahal. Menghapuskan layanan Transjakarta Koridor 1 justru akan dapat mendorong penggunaan motor yang lebih banyak lagi dari para pengguna Transjakarta yang dihapuskan.
Khawatir saya, pernyataan Kadishub DKI Jakarta Syafrin Liputo yang akan menghapuskan layanan TJ Koridor 1 Blok M – Kota itu hanya mendasarkan pada saran dari konsultan atau pakar yang tidak pernah naik angkutan umum, sehingga tidak dapat membedakan karakter pelanggan MRT dengan pelanggan TJ, apalagi mengetahui pola perjalanan mereka.
Namun, kalau Kadishub atau insan Dishub DKJ mau mempraktekkan satu minggu saja naik Koridor 1 dari Blok M sampai Kota, akan tahu di mana titik – titik pelanggan naik dan di mana titik – titik pelanggan turun, baik pada jam sibuk pagi maupun sore, yang ternyata tidak cocok untuk dipaksa pindah ke MRT.
Menarik yang menjadi catatan Ketua MTI Wilayah Jakarta Jusa Permana di WAG MTI [13.27, 21/12/2024], karena mempertanyakan, apakah efek network besar sudah dianalisis secara benar terhadap rencana penghapusan Koridor 1 tersebut? Kalau tidak, hanya akan menyiksa pelanggan.
Ini merupakan kebijakan kanibal kalau bicaranya hanya rebutan 10% pengguna angkutan umum, sementara yang 90% pengguna kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor justru tidak tersentuh oleh kebijakan.
Kadishub mestinya fokus memindahkan yang 90% pengguna kendaraan pribadi yang sejajar dengan rute MRT.
Menghapuskan Sejarah
Kadishub Syafrin Liputo merupakan salah satu saksi dan sekaligus pelaku sejarah pembangunan Busway Transjakarta yang sekarang dikenal dengan sebutan Transjakarta (TJ), karena saat pembanguan TJ sedang dirancang, dia salah satu staf yang aktif terlibat dalam proses pembangunan tersebut.
Sebagai saksi dan pelaku sejarah tentu amat paham bagaimana susahnya perjuangan mewujudkan pembangunan Busway Transjakarta saat itu, sehingga amat ironis bila pembangunan jalur TJ yang dibangun dengan penuh perjuangan itu kemudian akan dihapus begitu saja dengan alasan yang tidak jelas.
Menghapuskan layanan Koridor 1 Blok M – Kota sama saja menghapuskan sejarah pembangunan Busway Transjakarta.
Semestinya Kadishub Syafrin Lupito itu tidak mau menghapuskan layanan Koridor 1, tapi justru membuat kebijakan yang memperlancar layanan TJ agar menjadi pilihan warga untuk melakukan mobilitas warga Jabodetabek dengan cara membuat setiap persimpangan yang ada traffic light didedikasikan untuk TJ.
Setiap armada TJ akan melintas lampu selalu warna hijau. Saat ini yang terjadi justru sebaliknya, laju TJ selalu dikalahkan oleh kendaraan pribadi yang akan belok kanan.
Katanya Dishub DKI Jakarta telah memasang lebih dari 40 kamera cerdas, tapi entah dimana pasangnya, yang pasti tidak didedikasikan untuk layanan TJ.
Saya juga sudah mengusulkan agar sejumlah U turn yang ada di Koridor 1 yang menimbulkan tundaan perjalanan TJ dihapuskan seperti semula, tapi sampai sekarang juga tidak ada tindakan.
Kalau pertimbangan Kadishub Syafrin Liputo akan menghapuskan layanan TJ Koridor 1 dengan alasan menghindari terjadinya double subsidi, maka tentu tidak rasional pula, karena pelanggan TJ itu berbeda dengan pelanggan MRT, perusahaan yang melayani juga berbeda dan masing – masing mendapat PSO dari Pemerintah Provinsi Jakarta.
Pengoperasian LRT Jabodebek
Kadishub Syafrin Liputo perlu belajar dari pengoperasian LRT Jabodebek. Sebelum LRT Jabodebek dioperasikan, sempat muncul kekhawatiran bahwa Sebagian potensi pelanggan TJ akan berkurang, karena mereka akan pindah ke LRT Jabodebek.
Kekhawatiran yang sama sempat saya sampaikan ke teman – teman dari manajeman PT TJ saat LRT dioperasikan tahab awal dan penuh penumpang, karena tarifnya masih murah, tapi ternyata semua kekhawatiran tadi keliru besar, karena yang terjadi justru sebaliknya.
Di sejumlah halte TJ yang terintegrasi dengan stasiun LRT justru mengalami peningkatan pelanggan jumlahnya total mencapai di atas 2.000 orang setiap harinya. Mengapa begitu? Ya karena orang bertransportasi itu memerlukan konektivitas.
Oleh karena itulah, yang harus dikawal oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta dalam pembangunan MRT tahab kedua ini adalah bagaimana agar stasiun – stasiunnya terintegrasi dengan layanan angkutan umum lainnya, termasuk dengan TJ Koridor 1.
Kalau yang muncul justru membunuh layanan yang sudah ada, maka berarti tidak muncul pemikiran integrasi layanan antara MRT dengan TJ Koridor 1 maupun lainnya.
Selagi masih ada waktu tiga tahun (2025 – 2027), berfikirlah bagaimana membangun integrasi layanan MRT dengan TJ dan bagaimana memindahkan pengguna mobil pribadi ke MRT maupun TJ.
Jangan sekali – kali berpikir menghapuskan layanan yang terbukti telah memiliki jaringan layanan begitu banyak dan luas, kecuali hanya mencari mudahnya saja.
Sebagai orang yang sejak awal terlibat dalam proses pembangunan busway, bahkan sejak sedang menjadi wacana, sehingga sama dengan Kadishub yang menjadi salah satu saksi dan sekaligus salah satu pelaku sejarah, saya menolak keras penghapusan Koridor 1 dan koridor lainnya kelak bila MRT Lebak Bulus – Ancol telah beroperasi.
Saya lebih mendukung pengintegrasian kedua layanan angkutan massal di Jakarta tersebut. (Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat)