Menertibkan Muatan Lebih Menunggu Ketegasan Presiden

Truk trailer yang parkir di bahu jalan. (dok. istimewa)
Bagikan

Liberalisasi angkutan barang yang semua diserahkan ke mekanisme pasar perlu di tinjau ulang.

Di negara maju mekanisme pasar berjalan. tetapi masih ada norma – norma batasan, seperti aturan teknis keselamatan kendaraan, regulasi pengemudi dan lain – lain yang dijalankan secara ketat.

Liberalisasai hanya pada penegnaan tarif dengan tetap memenuhi standar. Di Indonesia, liberalisasi di sisi tarif, sementara standar keselamatan dan norma – norma lainnya diabaikan demi kata efisiensi pergerakan biaya.

Kecelakaan beruntun kembali terjadi melibatkan 19 kendaraan di tol ruas Cikampek – Purwakarta – Padalarang atau Cipularang Km 92, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (11/11/2024) pukul 15.15 WIB.

Pemicunya adalah truk pengangkut kardus yang remnya blong (Kompas, 13/11/2024).

Setiap hari terjadi kecelakaan truk di Indonesia, kecualo di masa mudik truk dilarang beroperasi.

Kecelakaan truk menduduki peringkat kedua setelah sepeda motor, walaupun jumlah truk lebih kecil ketimbang mobil. Tata kelola angkutan logistik di Indonesia masih buruk.

Kebijakan keselamatan lalu lintas sering kali berhadapan dengan prioritas lain, seperti menekan harga murah (toleransi pada truk berdimensi dan muatan lebih) untuk menjaga inflasi tetap rendah.

Pendekatan ini memiliki risiko besar. Mengabaikan kebijakan keselamatan dapat meningkatkan jumlah kecelakaan lalu lintas, yang berpotensi mengakibatkan kerugian ekonomi yang lebih besar dalam jangka panjang, seperti biaya perawatan kesehatan dan hilangnya produktivitas akibat cedera atau kematian.

Untuk menciptakan keseimbangan, sangat penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan strategi yang bisa menekan inflasi tanpa mengorbankan keselamatan publik, seperti meningkatkan efisiensi transportasi, mengadopsi teknologi ramah biaya, atau memberikan insentif untuk pengembangan infrastruktur yang lebih aman (Muhammad Akbar, 2024).

Darmaningtyas (2024), menyebutkan pemerintah wajib menyelenggarakan sekolah mengemudi untuk semua jenis kendaraan. Pilot, nahkoda dan masinis ada sekolahnya dan wajib bersekolah dulu.

Akan tetapi sopir angkutan darat (mobil, bus dan truk) tidak ada sekolahnya dan tidak melewati pendidikan dan latihan (Diklat).

Untuk dapat mengendarai bus dan truk cukup melalui pemagangan menjadi kernet, dimulai dari markir kendaraan dan cuci kendaraan.

Setelah bisa markir kendaraan, kemudian mencoba menjalankan truk/bus dalam jarak terbatas dan seterusnya.

Cara ini harus segera diakhiri. Kementerian Perhubungan bersama Polri saling berkoordinasi dapat memulai membuat Sekolah Mengemudi untuk calon pengemudi angkutan umum.

Hal ini sesuai amanah Pasal 77 (ayat 4) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan pengemudi angkutan umum.

Setelah ada sekolah mengemudi untuk calon pengemudi truk dan bus, maka semua calon pengemudi wajib mengikuti sekolah mengemudi dulu sebelum memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi).

SIM hanya dapat diberikan kepada mereka yang sudah lulus mengikuti sekolah mengemudi, sedangkan bagi mereka yang sudah punya SIM dan selama ini sudah menjalankan truk, wajib mengikuti diklat minimal satu minggu untuk memahami aspek keselamatan dan perilaku berlalu lintas yang beradab.

Tentu semua biaya dari negara, karena pengemudi angkutan umum tentu tidak punya uang.

Karena melewati sekolah mengemudi secara formal, maka batas pendidikan minimum dan usia calon pengemudi angkutan umum (bus/truk) juga harus ada.

Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, telah menetapkan calon pengemudi angkutan umum minimal berusia 22 tahun dan berpendidikan minimal SMTA.

Sekarang ini, jumlah armada truk lebih banyak ketimbang sopir truk. Banyak sopir truk yang hengkang karena tidak ada jaminan keberlangsungan.

Upah standar pengemudi tidak ada, pengusaha pemilik barang serendahnya memberikan harga kontrak kepada pengusaha angkutan barang. Belum lagi pungli masih merajalela, mulai berbaju hingga tanpa baju.

Pengusaha angkutan barang masih dibebani sejumlah setoran ke oknum aparat penegak hukum. Akhirnya yang dikorbankan adalah perawatan kendaraan dan memberikan upah rendah pada pengemudi.

Ujungnya, kecelakaan di jallan raya pasti akan terjadi dan setiap hari pasti ada kecelakaan angkutan barang.

Bisnis angkutan truk harus ditata agar lebih profesional. Memiliki sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang benar, sehingga proses rekruitmen pengemudi juga melalui cara-cara yang benar dan memperhatikan kompetensi, serta ada batasan jam kerja serta pendapatan minimal.

Memang ini punya konsekuensi terhadap tarif angkutan barang. Tidak masalah, yang paling penting adalah keselamatan bertransportasi bagi semua warga terjamin.

Pemda melalui Dinas Perhubungan wajib melakukan pembinaan, termasuk melakukan uji KIR secara rutin terhadap kendaraan angkutan umum yang ada di wilayahnya.

Tentu ini tantangan baru, tapi kalau menghendaki terwujudnya keselamatan angkutan jalan itu wajib dilakukan.

Saatnya pemerintah tidak bertindak secara reaktif saja, Ketika ada masalah teriak-teriak, tetapi setelah lewat masalahnya lupa, dan nanti teriak lagi saat muncul masalah lagi.

Saatnya pemerintah bertindak secara cerdas dan terencana. Kalau sudah bertindak cerdas dan terencana tapi kecelakaan masih terjadi, baru kita bisa bilang itu nasib. Tetapi kalau kondisi pembiaran itu terjadi terus menerus, tidak bisa dikatakan itu nasib dan tidak bisa pula kesalahannya dibebankan pada masyarakat.

Butuh Ketegasan Presiden

Permasalahan tabrakan beruntun yang berulang atau kecelakaan truk dengan dimensi dan muatan berlebih (Over Load Over Dimension/ODOL) tidak pernah mendapatkan solusi dari negara.

Kejadian seperti ini merupakan akumulai carut marut penyelenggaraan atau tata kelola angkutan logistik di Indonesia.

Minimal ada 12 Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan angkutan logistik (Kementerian Koordinator Ekonomi, Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Kementerian Perhubungan, Kemen Pekerjaan Umum, Kepolisian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kemeterian Tenaga Kerja, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, Kementerian ESDM dan Bappenas).

Sejak tahun 2017, Kementerian Perhubungan sudah memulai melakukan pembenahan, tetapi selalu gagal karena ada penolakan dari Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Persoalan transportasi ini hanya bisa dibereskan dengan ketegasan presiden.

Salah satu persoalan yang menjadi sorotan adalah ketegasan hukum yang hanya menyasar pengemudi truk. Padahal, distribusi barang dengan cara ini dinikmati oleh pengusaha, khususnya pemilik barang.

Pada prinsipnya, pengemudi truk tidak mau membawa barang yang berlebihan, karena akan berisiko pada dirinya sendiri. Jika terjadi tabrakan, pengemudi yang hidup sudah pasti dijadikan tersangka.

Jika meninggal, keluarganya merelakan karena pemilik barang tidak mau bertanggungjawab, karena kondisi ini, pekerjaan pengemudi truk mulai ditinggalkan akibat risiko yang tidak sepadan dengan perlindungannya.

Sopir profesional akan semakin sulit didapatkan, sehingga menyisakan pengemudi yang tidak berpengalaman dan lebih mementingkan penghasilan yang tidak seberapa dibandingkn keselamatannya.

(Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat).

 

 

Komentar

Bagikan